Cara Mengesahkan Perkawinan Campuran (Beda Kewarganegaraan) Secara Agama Islam

Cara Mengesahkan Perkawinan Campuran (Beda Kewarganegaraan) Secara Agama Islam

Salam Sahabat pengacarakeluarga.net – Pengacara Perceraian di Jakarta – Pengacara Perceraian di Tangerang – Family Law

Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang Perkawinan hingga saat ini yang berlaku yaitu :

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”)
  3. Ketiga; Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“Kompilasi Hukum Islam”)-khusus beragama Islam.

 

Jika Perkawinan Campuran (Warga Negara Indonesia beragama Islam menikah dengan Warga Negara Asing yang memeluk agama Islam sebagai seorang mualaf) serta Perkawinan ini terjadi di Indonesia, maka terikat pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Pasal 2 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

 

Perlu diketahui juga bahwa UU Perkawinan mengatur tentang Perkawinan Campuran. Hal ini tertuang pada Pasal 57-63 UU Perkawinan. Dalam Pasal 57 UU Perkawinan diberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran.

 

Pasal 57 UU Perkawinan:

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah “ perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. “

 

Sehubungan dengan perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam, mengenai tata cara pencatatan perkawinan dapat diihat dalam Pasal 2 ayat (1) PP Perkawinan yang berbunyi:

Pasal 2 ayat (1) PP Perkawinan:

Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

 

Hal ini juga diatur dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam:

  1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
  2. Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

 

Ada 2 cara pilihan penyelesaian hukum yang  bisa lakukan untuk mencatatkan / mendaftarkan pernikahan yaitu :

Pertama, oleh karena perkawinan tersebut telah dilangsungkan secara agama atau dengan kata lain tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (“KUA”), maka Anda hanya memperoleh surat keterangan menikah, namun tidak memperoleh salinan Akta Nikah (“Buku Nikah” dari KUA). Dengan demikian, langkah hukum yang dapat ditempuh adalah dengan mengajukan permohonan itsbat nikah pada Pengadilan Agama setempat. Hal ini di atur dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :

 

Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam:

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

  1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
  2. Hilangnya akta nikah;
  3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974;
  5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

 

Atau Kedua, oleh karena perkawinan dilakukan di wilayah Indonesia, maka prosedur ketertiban yang harus dilakukan dan dipenuhi adalah dengan mendatangi Kantor Urusan Agama (“KUA”) Kecamatan sesuai dengan tempat tinggal (domisili) Anda untuk dinikahkan kembali secara hukum negara, dengan melengkapi dokumen-dokumen/berkas-berkas yang harus dipenuhi oleh Warga Negara Asing diantaranya:

1)    AktaKelahiran/Kenal Lahir;

2)    Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Kepolisian (tingkat Polda atau Polres);

3)    Surat Keterangan Model KII dari Dinas Kependudukan;

4)    Tanda Lunas Pajak Bagi Orang Asing;

5)    Keterangan Izin Untuk Sementara (KIMS) dari Imigrasi;

6)    Paspor; dan

7)    Surat Keterangan dari Kedutaan/Perwakilan Diplomatik yang bersangkutan (Terjemahan Bahasa Asing ke Bahasa Indonesia-Penerjemah Tersumpah).

Kedua pilihan hukum tersebut dapat Anda ambil salah satunya sesuai dengan kesanggupan Anda.

 

Dasar Hukum:

  1. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

 

INTISARI :

Setidaknya ada dua cara untuk mengesahkan perkawinan campuran yang dilakukan secara Islam yaitu

  1. Mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan agama.
  2. Mendatangi KUA setempat untuk meminta dinikahkan kembali secara hukum negara.

Demikian semoga bermanfaat bagi sahabat pengacarakeluarga.net.

 

Referensi :

hukumonline.com